Sejarah Nasional
Pada tahun
(1899 – 1944)
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan
pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan
terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga
petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung
Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa
Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten tasikmalaya (ada yang menyebut
ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedi Islam menyebutnya tahun 1907,
sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina
Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya
menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun
1927.
Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang
agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan
ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak
lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung
Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan
nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di
Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab
dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun
mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat
pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu
mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari
ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang
dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah
berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin.
Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham
Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat
Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke
pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan
ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan
namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan
yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933,
ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is
Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan
mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap
perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Beliau selalu menyerang
kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam
ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu
mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar
oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal
Mustofa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod,
dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut
rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka
ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke
penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap
penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama
Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua
ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang
pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih
mendekam di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan
Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru
ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan
mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan
Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang
menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa
dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara
penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan
santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan
oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu
lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Begitulah, pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap
dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin
memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap
rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan
seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan
badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan
ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap
ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada
waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan
semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua
ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang
tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir
pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi
diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan
dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt
lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama
orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan
kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia
berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan
seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat
Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan
tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan
bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan
terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H).
Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian
melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer
Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan
tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal
Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu
runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat.
Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi
makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim
camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa
anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil.
Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya,
pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya
senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang
meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di
Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah
keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan
hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa
ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk
memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden
itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban,
karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul
16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan
Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat
terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka
adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu
domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal
Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan
sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah
para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan
lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang
berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa
ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang.
Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di
penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di
Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat
(kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan
dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal
Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan
seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam
pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang,
dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul
sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang
dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke
Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para
santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga
pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak
bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah
peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan
tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa
KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan
di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah
seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan
makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama
makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara
Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke
Sukamanah, Tasikmalaya.
Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.***
Quote:KH Zaenal Mustofa: Ulama Pejuang dari Tasikmalaya
Dalam sejarah kemerdekaan kita, banyak sekali sosok pejuang yang
berasal dari kalangan ulama. Termasuk kalangan pesantren. Salah satunya
adalah KH. Z. Mustofa, ulama pejuang dari Sukamanah, Tasikmalaya, yang
ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 20 November 1972.
Tidak banyak yang mengenalnya. Di Jakarta, sejauh ini tidak ada
nama jalan yang mengabadikan namanya. Begitu pula di Bandung, ibukota
provinsi Jawa Barat. Hanya di Tasikmalaya nama KHZ Mustofa terpampang
sebagai nama jalan protokol.
Kisah heroik Mustofa menjadi catatan perjalanan sejarah
Tasikmalaya. Ia berani menyerang tentara Jepang. Perlawanan yang
dilakukan oleh ulama ini sebagai penolakan terhadap penjajah yang ingin
membumihanguskan pendidikan pesantren. Peristiwa itu tidak akan pernah
dilupakan warga setempat dan keluarga korban.
Tepatnya pada 1 Rabiul Awal 1365 H (25 Pebruari 1944), di
Sukamanah, Kabupaten Tasikmalaya, terjadi pertempuran hebat antara
pejuang (santri) melawan penjajah. Pertempuran tersebut merenggut banyak
korban jiwa para pejuang.
Menjelang waktu solat Ashar hari itu, puluhan truk militer
mendatangi Sukamanah. Pihak Jepang menganggap pesantren yang dipimpin
KHZ Mustofa itu menjadi basis pemberontak. Begitu tiba, para serdadu
Jepang langsung melakukan tembakan salvo. Mereka juga menembaki para
santri yang melawan dengan senjata seadanya, seperti pedang dan bambu
runcing.
Melihat yang datang menyerang adalah anak bangsa sendiri (para
serdadu Jepang itu adalah orang Indonesia), saat itu Mustofa
memerintahkan para santrinya tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh
masuk jarak perkelahian.
Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan
mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan
lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan
memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Dalam pertempuran yang tidak
seimbang itu, sekitar 86 pejuang gugur, dan Mustofa ditangkap bersama 21
santrinya.
Pertempuran itu merupakan puncak dari perseteruan antara
pesantren Sukamanah dengan pihak Jepang. Sehari sebelumnya (24 Februari
1944), pasukan Jepang juga melakukan penyerangan. Mereka mengirimkan
satu regu pasukan bersenjata, guna menangkap Mustofa dan para santrinya.
Itu dilakukan karena Jepang tahu sikap Mustofa, yang bertekad menentang
penjajahan. Upaya penangkapan pada hari itu gagal, pasukan Jepang bisa
dilumpuhkan dan menjadi tawanan Sukamanah. Namun, semua tawanan itu
dibebaskan keesokan harinya, hanya senjatanya yang dirampas.
Keesokan harinya, Jepang mengirimkan empat orang ke Sukamanah dan
meminta agar Mustofa menyerah, tetapi tidak berhasil. Malahan, dari
empat orang yang datang itu, tiga di antaranya berhasil dilumpuhkan, dan
satu orang bisa lolos. Setelah itu, sore harinya, serangan kembali
dilakukan dengan jumlah pasukan lebih besar.
Setelah itu, Mustofa tertangkap, namun tidak diketahui
keberadaannya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi
kabar: KHZ Mustofa meninggal dunia pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan
di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Mustofa dilahirkan pada 1901 di Kampung Bageur, Desa Cimerah
Kecamatan (sekarang lokasi itu menjadi wilayah Desa Sukarapih Kecamatan
Sukarame), Kabupaten Tasikmalaya. Putra pasangan petani Nawapi dan Ny.
Ratmah itu dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama.
Seperti banyak putra pribumi lainnya, Mustofa kecil belajar di
Sekolah Rakyat. Setelah itu, ia melanjutkan ke pesantren. Pertama kali
masuk pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyaty yang merupakan
kakak sepupunya. Dimyati dikenal dengan nama K.H. Zainal Muhsin. Dari
Gunung Pari, ia kemudian menimba ilmu di Pondok Pesantren Cilenga,
Leuwisari, dan di Pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Walaupun masa kecilnya di zaman penjajahan Belanda, semangat
jihad yang ditanamkan kakak sepupunya, Dimyati, tertanam sangat kuat
dalam diri Mustofa. Tahun 1927, Mustofa mendirikan pesantren di Kampung
Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun
1922 telah berdiri pula pesantren yang didirikan K.H. Zainal Muhsin,
yaitu Pesantren Sukahideng.
Saat itu, Mustofa tumbuh menjadi pimpinan dan anutan yang
karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia
masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil rois
Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sikapnya yang antipenjajah, tentu saja ditanamkan kepada para
santrinya, yang jumlahnya sekitar 700 orang. Sikap itu kadang
disampaikan terang-terangan di muka umum. Sehingga, tidak jarang, saat
berkhotbah ia sering diturunkan dari mimbar oleh kiai yang propenjajah.
Bersama KH Ilyas Ruhiyat (pimpinan Pondok Pesantren Cipasung),
Mustofa ditangkap Belanda pada 17 November 1941. Ia kemudian ditahan di
Penjara Tasikmalaya. Sehari kemudian, dipindahkan ke Sukamiskin Bandung,
dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap
penjajah tak surut. Akhir Februari 1942, Mustofa kembali ditangkap dan
dimasukkan penjara Ciamis. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada
Jepang, ia masih mendekam di penjara. Akhirnya, Mei 42, ia dibebaskan
seorang kolonel Jepang.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan
pandangannya terhadap penjajah tidak berubah. Bahkan, kebenciannya
semakin memuncak, manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah
terhadap rakyat. Itu semua membuat tekadnya menentang dan menyatakan
berontak terhadap Jepang semakin kuat.
Setelah ditangkap Jepang dalam pertempuran heroik di Sukamanah,
keberadaan KHZ Mustofa sempat tidak jelas. Tidak ada yang tahu kiai
karismatik itu dimakamkan di mana.
Akhirnya, salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat,
menelusuri keberadaan makamnya. Hasilnya, pada 1973 keberadaan makam
pahlawan nasional itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Di
tempat itu, makam Mustofa bersama 21 santrinya, berada di antara makam
tentara Belanda.
Setelah dicek administrasi pemakaman dan lainnya, dapat
dipastikan bahwa benar itu adalah makam KHZ Mustofa bersama santrinya.
Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah,
Tasikmalaya.
Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim mengaku pihaknya sangat
bangga dengan perjuangan KHZ Mustofa. Ia berharap semangat jihad yang
dilakukan Mustofa dan para santrinya tidak pernah padam menjadi teladan
generasi sekarang. “Semangat itu harus tetap menyala, hanya saja kontek
jihad yang dilakukan sekarang bukan perang, melainkan melawan kebodohan,
kemiskinan, dan ketertinggalan,” katanya.
Setelah mengabadikan namanya menjadi nama jalan protokol di
Tasiklamaya, Tatang mengaku pihaknya akan membangun monumen KHZ Mustofa
di Singaparna. Monumen itu menjadi symbol kepahlawanan rakyat
Tasikmalaya melawan penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan.