Minggu, 24 Juni 2012

KH Zainal Mustofa Pahlawan Tasikmalaya

Sejarah Nasional
Pada tahun
(1899 – 1944)
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedi Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Beliau selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Begitulah, pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.
Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik.
Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.***
Quote:KH Zaenal Mustofa: Ulama Pejuang dari Tasikmalaya
Dalam sejarah kemerdekaan kita, banyak sekali sosok pejuang yang berasal dari kalangan ulama. Termasuk kalangan pesantren. Salah satunya adalah KH. Z. Mustofa, ulama pejuang dari Sukamanah, Tasikmalaya, yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 20 November 1972.
Tidak banyak yang mengenalnya. Di Jakarta, sejauh ini tidak ada nama jalan yang mengabadikan namanya. Begitu pula di Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat. Hanya di Tasikmalaya nama KHZ Mustofa terpampang sebagai nama jalan protokol.
Kisah heroik Mustofa menjadi catatan perjalanan sejarah Tasikmalaya. Ia berani menyerang tentara Jepang. Perlawanan yang dilakukan oleh ulama ini sebagai penolakan terhadap penjajah yang ingin membumihanguskan pendidikan pesantren. Peristiwa itu tidak akan pernah dilupakan warga setempat dan keluarga korban.
Tepatnya pada 1 Rabiul Awal 1365 H (25 Pebruari 1944), di Sukamanah, Kabupaten Tasikmalaya, terjadi pertempuran hebat antara pejuang (santri) melawan penjajah. Pertempuran tersebut merenggut banyak korban jiwa para pejuang.
Menjelang waktu solat Ashar hari itu, puluhan truk militer mendatangi Sukamanah. Pihak Jepang menganggap pesantren yang dipimpin KHZ Mustofa itu menjadi basis pemberontak. Begitu tiba, para serdadu Jepang langsung melakukan tembakan salvo. Mereka juga menembaki para santri yang melawan dengan senjata seadanya, seperti pedang dan bambu runcing.
Melihat yang datang menyerang adalah anak bangsa sendiri (para serdadu Jepang itu adalah orang Indonesia), saat itu Mustofa memerintahkan para santrinya tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh masuk jarak perkelahian.
Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, sekitar 86 pejuang gugur, dan Mustofa ditangkap bersama 21 santrinya.
Pertempuran itu merupakan puncak dari perseteruan antara pesantren Sukamanah dengan pihak Jepang. Sehari sebelumnya (24 Februari 1944), pasukan Jepang juga melakukan penyerangan. Mereka mengirimkan satu regu pasukan bersenjata, guna menangkap Mustofa dan para santrinya. Itu dilakukan karena Jepang tahu sikap Mustofa, yang bertekad menentang penjajahan. Upaya penangkapan pada hari itu gagal, pasukan Jepang bisa dilumpuhkan dan menjadi tawanan Sukamanah. Namun, semua tawanan itu dibebaskan keesokan harinya, hanya senjatanya yang dirampas.
Keesokan harinya, Jepang mengirimkan empat orang ke Sukamanah dan meminta agar Mustofa menyerah, tetapi tidak berhasil. Malahan, dari empat orang yang datang itu, tiga di antaranya berhasil dilumpuhkan, dan satu orang bisa lolos. Setelah itu, sore harinya, serangan kembali dilakukan dengan jumlah pasukan lebih besar.
Setelah itu, Mustofa tertangkap, namun tidak diketahui keberadaannya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar: KHZ Mustofa meninggal dunia pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Mustofa dilahirkan pada 1901 di Kampung Bageur, Desa Cimerah Kecamatan (sekarang lokasi itu menjadi wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame), Kabupaten Tasikmalaya. Putra pasangan petani Nawapi dan Ny. Ratmah itu dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama.
Seperti banyak putra pribumi lainnya, Mustofa kecil belajar di Sekolah Rakyat. Setelah itu, ia melanjutkan ke pesantren. Pertama kali masuk pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyaty yang merupakan kakak sepupunya. Dimyati dikenal dengan nama K.H. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian menimba ilmu di Pondok Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Walaupun masa kecilnya di zaman penjajahan Belanda, semangat jihad yang ditanamkan kakak sepupunya, Dimyati, tertanam sangat kuat dalam diri Mustofa. Tahun 1927, Mustofa mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula pesantren yang didirikan K.H. Zainal Muhsin, yaitu Pesantren Sukahideng.
Saat itu, Mustofa tumbuh menjadi pimpinan dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sikapnya yang antipenjajah, tentu saja ditanamkan kepada para santrinya, yang jumlahnya sekitar 700 orang. Sikap itu kadang disampaikan terang-terangan di muka umum. Sehingga, tidak jarang, saat berkhotbah ia sering diturunkan dari mimbar oleh kiai yang propenjajah.
Bersama KH Ilyas Ruhiyat (pimpinan Pondok Pesantren Cipasung), Mustofa ditangkap Belanda pada 17 November 1941. Ia kemudian ditahan di Penjara Tasikmalaya. Sehari kemudian, dipindahkan ke Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tak surut. Akhir Februari 1942, Mustofa kembali ditangkap dan dimasukkan penjara Ciamis. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara. Akhirnya, Mei 42, ia dibebaskan seorang kolonel Jepang.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya terhadap penjajah tidak berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak, manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Itu semua membuat tekadnya menentang dan menyatakan berontak terhadap Jepang semakin kuat.
Setelah ditangkap Jepang dalam pertempuran heroik di Sukamanah, keberadaan KHZ Mustofa sempat tidak jelas. Tidak ada yang tahu kiai karismatik itu dimakamkan di mana.
Akhirnya, salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, menelusuri keberadaan makamnya. Hasilnya, pada 1973 keberadaan makam pahlawan nasional itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Di tempat itu, makam Mustofa bersama 21 santrinya, berada di antara makam tentara Belanda.
Setelah dicek administrasi pemakaman dan lainnya, dapat dipastikan bahwa benar itu adalah makam KHZ Mustofa bersama santrinya. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim mengaku pihaknya sangat bangga dengan perjuangan KHZ Mustofa. Ia berharap semangat jihad yang dilakukan Mustofa dan para santrinya tidak pernah padam menjadi teladan generasi sekarang. “Semangat itu harus tetap menyala, hanya saja kontek jihad yang dilakukan sekarang bukan perang, melainkan melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan,” katanya.
Setelah mengabadikan namanya menjadi nama jalan protokol di Tasiklamaya, Tatang mengaku pihaknya akan membangun monumen KHZ Mustofa di Singaparna. Monumen itu menjadi symbol kepahlawanan rakyat Tasikmalaya melawan penjajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan.